> Tes Tempel, Tes Terbaru
Mungkin bagi sebagian orang, alergi dianggap sepele. Sekadar munculnya merah-merah atau gatal-gatal di tubuh. Padahal, alergi bisa memberi dampak yang lebih hebat dari tanda-tanda ringan itu. Salah satunya adalah munculnya sindrom Stephen-Jhonson yang disebabkan alergi terhadap antibiotik. Pada tingkat lanjut, penyakit ini bisa menyebabkan penderitanya kehilangan nyawa. Waduh!
Alergi yang disebabkan oleh obat memang lebih berbahaya dibandingkan alergi yang ‘hanya’ karena debu dan makanan. Ini yang paling ditakutkan oleh para dokter,” kata dokter Dr dr Iris Rengganis SpPD KAI, ahli dari Divisi Alergi Imunologi Klinik, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM, di sela-sela media edukasi ‘Jangan Abaikan Alergi’, pekan lalu.
Mengingat pentingnya, tidak mengherankan jika dalam setiap pemeriksaan terhadap pasien, dokter selalu bertanya apakah pasien memiliki alergi obat ataukah tidak. Penting juga bagi pasien untuk berterus terang kepada dokter jika memiliki alergi obat. Dengan begitu, pemberian obat tidak akan menimbulkan masalah dan berdampak buruk.
Alergi bisa disebabkan dua faktor yaitu genetika dan lingkungan. Untuk faktor genetika, risiko terkena 60 persen jika kedua orangtua alergi dan 30 persen jika salah satu memiliki alergi. Alergi karena faktor genetika biasanya sudah bisa terlihat sejak anak masih kecil. Sedangkan alergi karena faktor lingkungan biasanya muncul setelah dewasa.
Belakangan ini jumlah penderita alergi terus meningkat setiap tahunnya. Di Amerika Serikat, saat ini, 1 dari 26 anak menderita alergi. Jumlah ini meningkat 18 persen jika dibandingkan tahun 1997 di mana 1 dari 29 anak memiliki alergi. Sayang, untuk Indonesia data persisnya belum ada. Tetapi dari hasil pemeriksaan para dokter, dipastikan tren jumlah penderita alergi terus meningkat setiap tahunnya.
Oleh karena itulah perlu sekali mewaspadai gejala-gejala alergi, mengingat faktor lingkungan bisa menjadi salah satu pencetusnya. Salah satu pemicu alergi yang sulit ‘diusir’ adalah debu di rumah. Masalahnya, dalam debu rumah banyak terdapat benda-benda (protein-protein) asing seperti tungau, jamur, maupun serpihan kulit binatang. Protein asing inilah yang merangsang tubuh memproduksi Imunoglubolin Epsilon (IgE), sejenis protein spesifik yang bersifat memerangi alergen, tapi sekaligus bisa menimbulkan alergi.
Faktor lain yang tidak berupa fisik bisa menjadi pencetus terjadinya alergi seperti stres. ”Keadaan tertekan dapat menurunkan kekebalan tubuh, sehingga memicu timbulnya beragam penyakit yang sebelumnya sudah ada dalam tubuh, termasuk penyakit alergi,” jelas dokter Iris.
Kemajuan tes
Meningkatnya jumlah penderita alergi membuat para dokter terus mencari cara untuk menentukan tes alergi. Selama ini tes alergi yang umum dilakukan adalah tes tusuk (skin prick test), yaitu tes kulit di bagian volar (lengan bagian bawah, dekat telapak tangan) dengan cara memasukkan alergen melalui jarum suntik. Bisa juga dengan tes darah. Tapi kini tes alergi sudah semakin maju dan menemukan cara lain.
Cara lain itu adalah menggunakan tes tempel (patch test), yaitu tes di bagian kulit punggung dengan cara menempelkan plester khusus. Hasil tes biasanya bisa terbaca setelah waktu 48 jam. Dari hasil itu bisa diketahui apa saja yang menjadi penyebab alergi. Sebelum menjalani tes ini pasien dianjurkan untuk sementara waktu tidak membasuh tubuh dengan air dan menghindari aktivitas yang mengundang produksi keringat, agar bahan-bahan tes tidak menghilang dari plester.
Kemudian ada pula tes alergi yang menggunakan bandulan. Di dalam bandulan itu terdapat berbagai macam serbuk dari beberapa jenis masakan, debu, maupun obat. Bandulan ini diarahkan kepada penderita alergi dan dokter langsung bisa melihat jenis alergi yang diidap pasiennya. (wik)
Apa Itu Alergi?
Alergi merupakan suatu reaksi yang menyimpang dari tubuh berkaitan dengan peningkatan kadar Imunoglubolin Epsilon (IgE) yang merupakan suatu mekanisme sistem imun. Alergi adalah penyakit atau kelainan yang tidak menular. Kecenderungan seseorang mengalami alergi dipengaruhi dua faktor, yaitu genetika (keturunan) dan lingkungan sebagai faktor eksternal tubuh. Hal itu merupakan salah satu penjelasan mengapa terjadi peningkatan peluang mendapat alergi.
Terjadinya alergi karena adanya zat yang menimbulkan reaksi yang disebut alergen. Alergen dapat masuk dalam tubuh melalui saluran napas (inhalan), percernaan (ingestan), suntikan (injektan), atau yang menempel pada kulit (kontaktan). Masuknya alergen ke dalam tubuh kemudian akan memicu respon kekebalan tubuh (imun) membentuk antibodi yang berkaitan dengan alergen, dan hal inilah yang merangsang timbulnya reaksi alergi.
Gejala-gejala alergi bisa berupa gatal-gatal, bersin-bersin, sesak napas dan lain-lain. Jenis alergi pun banyak macamnya. Dua jenis penyakit alergi yang sering dijumpai adalah alergi yang terkait dengan pernapasan seperti asma dan rinitis alergi (bersin dan pilek berulang, terutama pada pagi hari), dan penyakit alergi yang terkait dengan kulit seperti urtikaria (gidu-biduran / kaligata), dermatitis atopik (eksim).
Alergi rinitis biasanya ditandai dengan bersin-bersin, hidung terasa gatal, hidung berair atau tersumbat, dan sukar bernapas. Sedangkan mata terasa gatal, kemerahan dan berair. Bila penyakit ini dibiarkan, kemungkinan akan berkembang menjadi sinusitis.
Urtikaria (gidu-biduran / kaligata) adalah kelainan kulit yang ditandai oleh bentol, kemerahan, dan gatal. Meskipun gejalanya merupakan manifestasi penyakit alergi, tetapi penyebabnya seringkali bukan karena alergen. Gejala khusus urtikaria biasanya terlihat bentol, kemerahan dan rasa gatal. Bila penyebabnya telah diketahui, misalnya dari makanan (seperti susu, telur, ikan laut, kacang-kacangan) maka pasien harus menghindari konsumsi makanan tersebut.
Untuk menghindari alergi, sedapat mungkin mengontrol lingkungan sehingga tak membahayakan. Misalnya menghindari tungau debu rumah seperti karpet, kapuk, bahan beludru pada sofa atau gordin, ventilasi yang baik di rumah/ kamar, jauh dari orang yang sedang merokok, menghindari makanan yang diketahui sering menyebabkan alergi seperti susu, telur, makanan laut, cokelat, serta menghindari kecoa dan serpihan kulit binatang peliharaan. (wik)
Sekilas Stephen-Johnson Sindrom
Stephen-Johnson Syndrome (SJS) merupakan reaksi alergi terhadap obat-obatan atau terhadap infeksi virus atau bakteri. SJS ini menimbulkan luka pada kulit, terutama pada bagian tungkai dan lengan bawah, mulut (disebabkan berkurangnya selaput lender di mulut), usus, kornea, alat kelamin dan saluran kencing. Biasanya gejalanya disertai pula dengan demam yang tinggi. Obat-obatan yang dapat menyebabkan terjadinya SJS meliputi obat-obatan antikejang, obat-obat sulfa, obat antiperadangan nonsteroid termasuk antibiotik.
Reaksi yang ditimbulkan oleh obat-obatan itu biasanya terjadi dalam 2 minggu pertama setelah menggunakan obat. Mata akan membengkak, diikuti dengan sariawan pada mulut dan bibir. Penderita akan mengalami demam dan bintik merah pada kulit. Banyak penderita dan dokter yang tidak menyadari bahwa ini adalah gejala SJS. Kadang-kadang pasien menganggap bahwa mereka terkena flu biasa. Bahkan, dokter sering kali mendiagnosa pasien terkena cacar.
(wik/berbagai sumber)

Arzetti Bilbina
Alergi Seafood, Selalu Bawa Obat
Sejak sadar tubuhnya tidak tahan mengonsumsi makanan laut, Arzetti Bilbina kerap membawa obat alergi ke mana pun ia pergi. Yang pasti, di dalam tasnya selalu ada obat alergi yang bisa dimakan ketika ada teman atau rekan kerjanya yang mengajak menyantap makanan laut (seafood). ”Kalau ada yang ngajak makan seafood pasti aku langsung iyakan. Cuma, sebelum makan seafood, mesti minum obat alergi dulu. Mau makan seberapa banyaknya pun aku sanggup,” kata Arzetti di sela-sela media edukasi ‘Jangan Abaikan Alergi’ pekan lalu.
Arzetti mengaku sudah lama memiliki alergi terhadap makanan laut. Mulanya, wanita kelahiran Lampung 4 September 1974 ini diajak liburan ke Jakarta dan makan seafood. Setelah makan, tubuhnya langsung bengkak dan merah-merah. Beruntung, ibunya selalu siap dan membawa obat alergi. Setelah minum obat, kondisi Arzetti langsung membaik.
”Saat itu saya tahu bahwa saya tidak bisa makan seafood. Tetapi hanya makanan laut yang sudah disimpan lama dalam es. Soalnya, waktu masih di kampung, saya justru tidak bermasalah makan seafood karena masih segar,” tutur Arzetti.
Setelah memutuskan menetap di Jakarta, istri Aditya Setiawan yang mengawali kariernya di dunia hiburan sebagai model ini wajib membawa obat alergi. ”Hanya untuk berjaga-jaga saja, jadi tidak sampai ketergantungan. Hanya dimakan pada saat aku perlukan saja,” ungkapnya.
Selain seafood, Arzetti juga alergi terhadap minuman anggur dan udara malam. ”Kalau keluar malam, saya dari dulu memang bukan orang yang senang keluar malam. Jadi, kalau banyak kena udara malam, alergi memang kambuh,” ujarnya.
Sejauh ini Arzetti belum melakukan pemeriksaan tes alergi sehingga ia belum begitu mengetahui berapa jenis makanan, debu, atau obat yang bisa menyebabkannya alergi. ”Segera, setelah saya mendapat informasi mengenai alergi lebih banyak, saya akan konsultasi dengan dokter untuk mengetahui kondisi alergi saya,” katanya.
Alergi yang diidap Arzetti rupanya juga dialami ketiga anak-anaknya, Bagas Wicaksono Rahadi Setyawan (3 tahun 7 bulan), Dimas Aryo Baskoro Rahadi Setyawan (2 tahun 7 bulan), dan Gendis (1 tahun 9 bulan). Anak-anak Arzetti tidak kuat dengan tungau rumah, sehingga ia selalu memaksakan diri untuk membersihkan seluruh rumah walaupun sudah dikerjakan pembantu.
”Saya merasa tidak nyaman kalau tidak mengerjakan sendiri. Jadi, seminggu sekali saya pasti membersihkan rumah. Semua saya kerjakan sendiri,” ungkapnya.
Duta ASI ini juga belum mengizinkan anak-anaknya makan seafood. Tetapi, ia berencana memberikan seafood setelah anaknya melakukan tes alergi. Tentu saja jika anak-anaknya tidak alergi makanan laut itu. (wik)
Publish: Sunday, 02 November 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar