Senin, 02 Februari 2009

Salah Kaprah Empati terhadap Penderita Kanker

    Orang yang menderita suatu penyakit berat, seperti kanker payudara, tingkat sensitifitasnya sangat tinggi. Perasaannya sering berubah-ubah setiap saat sehingga kerapkali sulit dipahami oleh orang-orang terdekatnya. Apalagi, empati yang ditunjukkan oleh orang terdekat, seperti keluarga, kadang justru tidak membantu menumbuhkan rasa percaya diri penderita, melainkan membuatnya lebih tertekan.
    Orang Indonesia biasanya kalau ada keluarganya yang sakit berat dan tengah mengeluh, seringkali salah kaprah dalam menunjukkan empatinya,” kata Zoya Jusung Amirin MPsi di sela-sela diskusi ilmiah ‘Dukungan Orang Terdekat Bantu Kepatuhan Pengobatan dan Kepercayaan Diri Perempuan Pasca Pengangkatan Payudara’, belum lama ini.
    Kata-kata yang biasanya keluar dari rasa empati keluarga penderita adalah kalimat-kalimat mendukung seperti, ”Kamu harus sabar, jangan putus asa”. Atau kalimat, ”Ayo, jangan putus asa. Kamu pasti bisa sembuh”. Bahkan yang lebih buruk adalah kalimat, ”Saya tahu perasaanmu”.
”Kata-kata seperti itu bukan yang diinginkan penderita. Mereka bukan membutuhkan dukungan tetapi membutuhkan orang untuk mendengar apa yang mereka rasakan,” ujar Zoya. 
Jika keluarga penderita bisa menjadi pendengar yang baik, maka rasa takut, sedih, marah, dan kecewa, akan keluar, sehingga bisa meringankan beban hati penderita. ”Mereka sama saja seperti orang yang tidak mengidap kanker, yang membutuhkan orang lain untuk mendengar curahan hatinya. Saat penderita mengalami feeling down, keluarga harus bisa membantu dengan cara mendengar perasaan yang diungkapkan penderita,” kata Zoya.
    Oleh karena itulah, langkah terbaik bagi keluarga penderita kanker untuk membantu penderita adalah dengan menanyakan apa yang bisa dibantu untuk meringankan beban si penderita. Akan lebih baik jika penderita juga bisa dan jujur untuk mengungkapkan perasaannya sehingga keluarga bisa membantu sesuai dengan harapan dan keinginannya.
    ”Tanyakan pada penderita, ‘Apa yang bisa saya lakukan untuk kamu’. Kalimat ini akan sangat membantu meringankan penderitaan pengidap kanker,” ujar Zoya lagi.
    Hal-hal yang dianggap sepele inilah yang menyebabkan banyak sekali penderita kanker mengalami depresi yang lebih berat sehingga mempercepat kematiannya atau memperparah penyakitnya. Oleh karena itulah dibutuhkan sekali penanganan ahli yang bisa membantu penderita maupun keluarga menghadapi masalah tersebut.

Ditinggal pasangan
    Payudara merupakan salah satu bagian tubuh yang penting bagi seorang wanita. Inilah yang memberi beban terbesar bagi penderita kanker payudara ketika divonis positif oleh dokter. Ketakutan masa depan yang suram menghantui perasaan penderita. 
    Bagi mereka yang masih lajang, ketakutan yang muncul adalah hilangnya harapan memiliki masa depan berumah tangga yang harmonis. Sedangkan bagi yang sudah berumah tangga, mereka ketakutan bakal ditinggal pasangannya. Perasaan takut yang sangat wajar inilah yang seringkali menjadi kendala dalam proses penyembuhan.
    Diakui oleh Zoya Jusung, sebagian besar penderita kanker payudara yang pernah ditanganinya ditinggal oleh pasangannya begitu diketahui mereka menderita kanker. Hal yang sama terjadi di Amerika Serikat, sebanyak 60-70 persen dari total penderita kanker payudara ditinggal pasangannya.  ”Klien-klien saya yang sudah berumah tangga ditinggal suaminya, padahal si istri baru satu minggu divonis dokter terkena kanker payudara,” ujar Zoya.
    Ironisnya, justru setelah divonis dokter menderita kanker itulah masa terberat dalam hidup penderita kanker dimulai. Berbagai perasaan akan muncul sehingga dibutuhkan peran keluarga maupun pasangan untuk membantu penderita kanker keluar dari ketakutannya. 
    Jika keluarga atau pasangan tidak bisa membantu, bahkan meninggalkan penderita kanker payudara, daya juang penderita akan menurun. ”Dari klien yang saya tangani, begitu mereka ditinggal pasangannya, penyakit mereka semakin parah atau ada yang akhirnya meninggal dunia,” ungkap Zoya.
    Penderita kanker payudara tidak hanya membutuhkan pertolongan medis, tetapi juga pertolongan psikis yang hanya bisa dilakukan oleh keluarga, pasangan, dan orang terdekat. Orang yang kuat pun akan sulit menghadapi penyakitnya jika tidak ada dukungan dari keluarga karena ada saat-saat kondisi mereka turun dan membutuhkan bantuan keluarga.
    Depresi yang dialami penderita kanker dimulai sejak mendengar vonis dokter. Saat itulah dibutuhkan motivasi besar untuk mengangkat kondisi psikologisnya. Pasien yang bisa bertahan kebanyakan adalah mereka yang mampu mengelola stresnya dan mendapat dukungan yang besar dari seluruh keluarga. (wik)

Publish: Sunday, 26 October 2008

Tidak ada komentar: